Friday 11 May 2018

Trip to Ambarawa part 3: Museum Ambarawa



Museum Kereta Api Ambarawa atau Museum Ambarawa, adalah tempat yang sangat tepat untuk siapapun yang ingin mengenal sejarah perkembangan kereta api Indonesia, mulai dari masa-masa awal pembangunan hingga era modern kereta api. Kunjungan saya ke Museum Kereta Api Ambarawa ini adalah yang pertama kali seumur hidup saya, dan akan sangat jarang terulang kembali meskipun saya masih ingin mengunjunginya lagi, maka dari itu saya manfaatkan waktu sebaik mungkin, senyaman mungkin ada disana, mulai dari pagi hingga sore hari. Sebelum saya mulai bercerita pengalaman sehari disana, saya bagikan tips ringan untuk pembaca yang mungkin ingin kesana, baik sendirian, berdua dengan kawan atau pasangan, atau bersama keluarga.


1. Datanglah pagi lebih awal
Bagi wisatawan yang datang dari jauh seperti saya dari Tulungagung, sudah tentu ingin menggunakan waktu yang ada sebaik mungkin kunjungan kita sehari disana. Museum kereta api ini punya koleksi sarana dan prasana serta pernak-pernik peralatan-perlengkapan kereta api jadul yang sangat banyak, sebagian orang pasti tidak ingin kalo berkunjung kesana hanya untuk sekilas pandangan saja. Selain itu, setiap weekend atau hari libur nasional, kereta wisata Ambarawa-Tuntang menggunakan loko diesel dijalankan maksimal 4 trip per harinya memiliki kapasitas penumpang yang sangat terbatas. Kalau ingin mencoba naik KA wisata ini, datang lebih pagi agar tidak lekas kehabisan.

2. Bawa uang saku secukupnya
Di museum ini seingat saya jauh dari ATM, meskipun harga tiket museumnya hanya 10.000 rupiah per orang dan karcis kereta wisatanya 50.000 rupih sekali trip, disana banyak pedagang asongan dan souvenir di beberapa titik pintu keluar dan tepi jalan desa terdekat, mungkin kamu ingin sekalian kuliner dan beli beberapa souvenir untuk dibawa pulang. 

3. Bawa powerbank kapasitas besar
Di musium ini, hampir seluruh bagian gedung merupakan bagian asli dan dipertahankan keasliannya, sejauh pengamatan saya tidak ditemukan lokasi colokan listrik untuk pengunjung. Buat kita yang hobi berswafoto atau vloging juga mengabadikan koleksi museum dalam bentuk foto tentu akan sangat menguras daya baterai hape. Saya mendapati colokan listrik satu-satunya yang bisa dijangkau pengunjung ada di dalam musola, itu pun hanya ada di atas.

4. Kosongkan memory hape
Gadget masa kini saya mengamini sudah dilengkapi dengan kapasitas memori yang sangat besar, namun tidak jarang diikuti dengan fitur foto/videografi yang juga rakus penyimpanan sesuai dengan kualitas perekamannya. Saya sarankan kosongkan/luangkan memori internal dan eksternal agar tidak lekas kepenuhan kapasitas.

5. Jangan bawa tripot ukuran medium-besar
Tidak jarang wisatawan ingin berswafoto dengan objek pernak-pernik museum, terutama dengan koleksi loko-loko uap yang sudah tidak digunakan lagi, namun tidak ingin merepotkan orang lain untuk memotretkan kita. Daripada meletakkan kamera/hape yang kurang elok posisinya, tripot menjadi andalan untuk membantu meletakkan kamera/hape. Tapi hal ini disarankan untuk ditinggalkan di rumah karena hal itu akan percuma bila dibawa. Selain bisa merepotkan untuk pergerakan di dalam museum, tripot masih dianggap sebagai peralatan fotografer profesional dan untuk tujuan komersil, sehingga pemakaiannya di tempat-tempat tertentu masih tidak diperbolehkan. Menggunakan tongsis dengan tombol shutter atau monopod akan lebih efektif, aman dan nyaman.

Baiklah itu tips singkat dari saya untuk mengawali cerita pengalaman saya solotrip wisata ke Museum Kereta Api Ambarawa. Seperti yang sudah saya sebutkan, perjalanan saya ke Museum Ambarawa merupakan yang pertama kali dan karena saya cukup awam sebelumnya, saya persiapkan perjalanan dengan sangat matang. Setiba di museum Ambarawa, saya persiapkan tripot di area parkir agar memudahkan moving dan aktifitas swafoto. Memasuki loket pintu masuk, saya beli karcis seharga 10.000 rupiah per orang segala usia. Disana saya tanyakan untuk beli karcis kereta wisata, sama mbak-mbaknya yang cantik di loket pintu masuk, dijelaskan beli karcis kereta nya bisa dilakukan di loket dalam museum. Setelah mendapatkan karcis masuk, saya menuju portal pemeriksaan karcis. Namun alangkah terkejutnya, melihat saya membawa tripot seketika 2 pak petugas memberitahukan kalau menggunakan tripot boleh asalkan kameranya menggunakan hape. Sekuat tenaga saya jelaskan bahwa kunjungan dan perlengkapan saya bukan untuk komersil, bahkan saya tunjukkan prosumer saya yang hanya sebuah kamera digital biasa pun tidak mempan. Padahal dari depan pun jelas-jelas saya datang seorang diri, tanpa siapapun dan bukan untuk tujuan komersil. Perdebatan saya akhiri dengan kerelaan tripot saya sarungin kembali dan saya simpan di ransel. Untungnya saya membawa tongsis dengan tombol shutter, namun disana saya masih cukup was-was untuk menggunakan kamera. Padahal sejak dari rumah, semua sudah saya persiapkan matang-matang agar saya tidak kehilangan moment2 penting saat di museum (meskipun pada akhirnya saya benar-benar kehilangan separuh hari hasil foto-video akibat lupa backup memori internal dan terformat).


Memasuki area museum, saya disambut dengan jejeran loko uap besar seperti seri lok CC dan lok F10. Di dinding teras setelah pintu masuk juga terdapat beberapa foto pembangunan jalur KA masa kolonial yang disertai keterangan peristiwa apa yang ditampilkan. Mulai dari awal pun saya mulai jeprat-jepret, siapa tahu dari display tersebut saya belum pernah melihatnya. Di jejeran display tersebut banyak ditampilkan dokumentasi saat pembangunan prasarana kereta api di beberapa tempat, di Jawa maupun Sumatera. Setelah melalui teras display, menuju ke aula utama museum Ambarawa, atau eks stasiun Ambarawa atau nama Belanda-nya stasiun Willem, saya disambut oleh display lokomotif diesel elektrik pertama di Indonesia, yang saat ini "mati suri" dan berusia lebih dari 60 tahun, CC20015. Setelah menyaksikan saudara tuanya yang telah mati di kebun Balai Yasa Pengok, CC20008 dan CC20009, saya ketemu lagi dengan klan CC200 satu-satunya yang pernah aktif hingga era modern ini. Tak lama saya mengamatinya karena saya ingin segera beli karcis dahulu untuk naik kereta wisata Ambarawa-Tuntang. Memasuki ruang loket, saya langsung beli karcis 2 trip, jam 10.00 dan jam 14.00. Sengaja saya beli 2 dari 3 trip, jauh-jauh dari Tulungagung kalo nggak dipuas2in, eman-eman lah.. hehehe.. Kelar beli karcis, keluar dari loket saya menuju ke jejeran koleksi lok uap di sebelah timur dekat gedung loket pintu masuk dan menuju dipo lok. Di dekat sana saya lihat ada seorang pengujung bapak-bapak serta anaknya yang berfoto dengan DSLR.. Lah, itu aman-aman aja, yaudah, masa bodoh dah, saya keluarin kamera saya, kalo aja ngajak debat saya ladenin nanti...


D5106, kabarnya loko ini import dari Hedjaz Railway, Arab

D1007, pada masanya andalan SDS
di lintas Purwokerto-Wonosobo

Loko andalan lintas Prupuk-Yogyakarta
merupakan loko jenis Mallet di luar
lintas pegunungan priangan

Gerbong tender lok C54

C5417 dulunya loko andalan SCS karena hanya cocok
di lintasan datar

Meski milik SCS, pasca kemerdekaan loko ini terakhir
diketahui bermukim di Dipo Kutoarjo untuk dinas KA lokal

Loko yang memiliki perangkat defogger/penolak kabut asap
dulunya merupakan andalan SS untuk menarik KA cepat
karena mampu berlari 90 kmj

Sama seperti loko C28, lok C27 ini juga
andalan SS di lintas datar dan populasi
loko ini merata di seluruh pulau Jawa

Senada dengan loko C27-C28, C51 juga dioperasionalkan
menarik KA cepat, hanya saja dulu loko ini milik NIS



Pasca kemerdekaan, loko ini hampir ada di setiap stasiun
besar, menjadi salah satu pelopor generasi lok DH D300
maupun D301, C12 (juga C11) memiliki fungsi utama sebagai
loko langsir

Di emplasemen koleksi lok uap berjejer banyak sekali loko uap besar maupun kecil dengan berbagai tipe lok dan fungsinya,  mulai dari lok seri B, C, D yang dulu digunakan di lintas cabang maupun di lintas utama dengan fungsi sebagai lok langsir, lok KA penumpang/barang, bahkan untuk lok trem. Saya excited sekali dengan semua koleksi lok uap itu, benda-benda bersejarah kereta api yang sebelumnya cuma saya saksikan dari foto-foto, kini saya saksikan sendiri secara langsung di museum kereta api Ambarawa. Sejenak saya membayangkan tiap-tiap loko yang ada itu ketika masih dipergunakan di masa lalu, di daerah mereka pernah difungsikan hingga akhir mereka purna tugas, Sayang sekali, nasib lokomotif uap di Indonesia tidak bisa seperti di luar negeri, di Inggris misalnya, dimana sarana loko uap disana masih bisa dipergunakan hingga sekarang dan masih bisa berlari kencang hingga seratusan kilometer per jam, melalui lintasan datar maupun pegunungan. Di Indonesia, setelah era kepemimpinan Sang Proklamator berakhir, eksistensi sarana uap lokomotif dan kereta api pada umumnya, baik sarana maupun prasarana seperti sengaja tidak diperhatikan, dibiarkan mati secara perlahan. Jangankan sarana kereta api, jalur-jalur KA di Indonesia yang pada masa sebelum kemerdekaan sudah mencapai 6000 km, habis hingga tersisa sekitar 2000an km saja. Banyak jalur-jalur cabang yang ditutup karena tidak bisa bertahan maupun berkembang, bersaing dengan moda transportasi darat lainnya. Saya menyusuri tiap-tiap koleksi loko uap yang ada, hingga saya sampai di ujung jalur yang berada di dipo lokomotif Ambarawa. Sesaat saya ragu untuk mendekat, karena saya menduga,area dipo loko Ambarawa, biar pun ini masih di museum, tetap area dipo merupakan restricted area, ternyata benar saja. Disana ada seorang PKD yang berjaga, namun saya positif aja, bertanya boleh tidak memasuki dipo, dia menjawab boleh, namun di luarnya tidak apa-apa. Baiklah, saya hanya melihat dari luar gedung sembari menyaksikan lokomotif  uap B5112 yang sedang dipanaskan karena saat saya berkunjung kesana, ada rombongan yang sudah memesan sewa loko uap itu untuk rute Ambarawa-Tuntang.

Tak berapa lama, rangkaian KA wisata hendak dilangsir menuju jalur 1 stasiun Ambarawa karena rangkaian akan berangkat pada pukul 09.00, itu sejam sebelum jadwal pertama KA wisata yang menggunakan lok D301. Saya berjalan menuju area terbuka dekat turntable sembari menyusuri koleksi bogie SS lebar rel 1435mm dan 1067 yang tersisa dan alat berat bengkel KA jadul yang dicat kuning. Peralatan model static crane kecil itu sudah tidak difungsikan lagi, meskipun bila difungsikan, mungkin tidak banyak berguna karna peralatan modern yang sekarang digunakan pasti punya daya angkat dan jangkauan yang lebih baik daripada yang telah jadi pajangan itu. Tiba-tiba dari arah Tuntang, melintas lori JPJ yang sekarang ini lazim menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi agar dapat berjalan di rel. Ternyata di lintas museum ini ada juga lori motor juru penilik jalan rel.. hehehe..

Sayup-sayup dari arah stasiun, PAP stasiun menginformasikan KA wisata akan segara dilangsir menuju stasiun dan penyewanya dari rombongan alumni FK UGM. Tak berapa lama suling B5112 dibunyikan dan bersiap mendorong mundur rangkaian 3 unit CR menuju stasiun. Dari 3 unit, hanya 2 yang disewa, sehingga kereta nomor 1 arah Tuntang jendelanya ditutup. Kereta bergerak mundur melintasi turntable yang relnya sudah disambung tetap namun tidak permanen sehingga tidak dapat bergerak memutar dan tidak goyang saat dilewati, sembari sesekali masinis membunyikan sulingnya. Saya sangat terkesan mendengar suling loko uap, semboyan lokomotif yang tidak setiap hari saya dengar di kota saya. Sejenak menunggu, setelah semua rombongan naik, KA pun berangkat menuju stasiun Tuntang dan akan tiba di stasiun Ambarawa kembali sejam kemudian.


D30124 sedang pemanasan mesin

D30124 bergerak keluar dipo sembari menunggu rangkaian
kawis rombongan datang

Hampir sejam kemudian, terlihat lok D301nya sedang pemanasan untuk jam pertama KA wisata reguler dan mulai bergerak mendekat ke turntable, tak lama KA wisata berloko B5112 itu pun datang dari stasiun museum Tuntang. Lokomotif B5112 memiliki tender (gerbong pasangan loko untuk menyimpan stok kayu bakar dan air loko) bergandar 4, saat menuju Tuntang tender ada di belakang loko, saat kembali tender yang jadi di depan loko. Saat memasuki jalur 1, ada sebuah peristiwa yang cukup langka buat saya, roda loko selip. Unik banget meski cuma bawa 3 gerbong ringan dan jalurnya datar, roda loko bisa selip! Di luar faktor tekanan gandar loko yang kurang, moment selip roda loko uap membuktikan bahwa tenaga loko masih sangat kuat, apalagi loko uap daya geraknya tersalur murni dari ketel uap ke piston yang memutar roda. KA wisata masuk di jalur 1, loko D301 bergerak langsir untuk menyambung ke rangkaian KA. Saya pun mengikutinya menuju peron stasiun museum kereta api Ambarawa.

Tepat pukul 10.00, kereta wisata reguler trip pertama berangkat menuju stasiun Tuntang, bertenagakan lokomotif D301 yang mungkin merupakan satu-satunya loko diesel hidraulik paling sehat, sehingga dipindahkan di Ambarawa untuk melayani wisatawan yang ingin menikmati sensasi naik kereta api berkereta kayu gandar dua dan menyusuri jalur KA paling eksotis di selatan kota Semarang itu. Saya menikmati perjalanan pertama ini sengaja dengan berdiri di kereta paling akhir dan merekam perjalanan kereta wisata Ambarawa. Deru roda kereta yang menginjak setiap meter rel tua ukuran R25 dan goyangannya yang aduhai, belum pernah saya rasakan dengan KA di era modern ini. Meskipun saya sering menikmati perjalanan KA di masa lalu jalur Kertosono-Malang yang pernah menggunakan rel R33 dan bergelombang, tapi sensasi naik KA wisata Ambarawa ini sangatlah berbeda. Lebih kurang 15 menit melaju pemandangan indah pegunungan dan hamparan danau Rawa Pening menyambut wisatawan kereta wisata Ambarawa ini. Kereta yang melaju tidak kencang hanya sekitar 20 kilometer per jam, namun kenikmatan pemandangan Rawa Pening terasa terlalu singkat dilalui.


Peron stasiun (museum) Tunang

Mebel kuno di dalam stasiun Tuntang

Loko D30124 sedang langsir balik arah, terlihat gerbang jalur
non aktif menuju Kedungjati yang terhenti proses reaktifasinya

Handle sinyal tipe Alkmaar stasiun Tuntang

Langsir persiapan tempel dengan rangkaian kawis

Display sejarah stasiun Suntang

Tak lama kereta wisata memasuki museum Stasiun Tuntang, stasiun yang berada di tepi Kali Tuntang ini adalah salah 1 stasiun yang paling sering dikunjungi wisatawan yang berwisata dengan kereta uap/diesel Ambarawa, karena stasiun ini masih berada di dataran rendah sehingga tidak memerlukan loko uap B2502/03 untuk mengoperasikan kereta wisatanya. Sebagai salah 1 museum, stasiun Tuntang juga didekorasi dengan gaya lama lengkap dengan furniturnya bergaya Art Deco, display-display sejarah stasiun Tuntang dan mebel-mebel klasik yang terpajang di beberapa ruangannya. Tidak hanya itu, stasiun yang memiliki 2 jalur utama, 1 jalur yang masih bantalan beton saja dan 2 jalur badug di sebelah luar gudang yang ada di seberang stasiun ini juga didaulat menjadi museum loko diesel. Maka dari itu, di ujung barat 2 jalur parkir/badug dibangun garasi/dipo yang didalamnya tersimpan 1 loko DD50 yang pernah digunakan dalam pembangunan jalur ganda Jakarta-Cirebon dan 1 loko BB201 yang sudah tidak bermesin namun sudah direhab eksteriornya. Namun karena kereta wisata tidak berhenti lama, hanya singgah untuk langsir loko, maka saya bergegas kembali ke stasiun untuk naik kereta kembali ke Ambarawa. Sebenarnya saya ingin tinggal agak lama di stasiun Tuntang, namun saya tidak tahu apakah wisatawan boleh singgah sejenak kemudian kembali dengan kereta selanjutnya atau tidak.

Bersamaan dengan peluit panjang S40 dan diikuti S35, kereta wisata beranjak pergi dari jalur 1 stasiun Tuntang. Belum banyak yang bisa saya eksplor di stasiun Tuntang itu, nanti saja saat kembali dengan KA wisata trip ketiga yang berangkat dari Ambarawa jam 2 siang. Kereta kembali menyusuri jalur rel wisata Tuntang-Ambarawa, namun kali ini saya memilih duduk di dalam kereta, kebetulan ada bangku kosong sehingga saya bisa duduk di dekat jendela. Rasanya lebih baik dari ketika berdiri tadi, impresinya lebih tenang di dalam kabin, mungkin karena kebetulan saya duduk di bangku yang ada di tengah kereta, sehingga getarannya lebih minim. Bangku yang saya duduki berada di sebelah kanan arah kereta, atau sebelah utara rel, jadi tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat, padahal di sebelah kiri arah kereta akan lebih enjoy menikmati hamparan danau Rawa Pening yang sangat luas dengan tumbuhan eceng gondok yang menghiasi di beberapa tempat. Saya menikmati sekali perjalanan itu dan sesekali membayangkan betapa indahnya naik kereta di masa lalu, naik kereta api yang benar-benar "kereta api" meskipun saya tidak pernah ada di masa itu. Masa yang tak akan pernah bisa terulang lagi di dunia perkeretaapian Indonesia. Mungkin saja, bila penguasa pada masa itu memperhatikan eksistensi kereta api, memberikan perhatian pada perkembangan sistem bisnis kereta api sehingga kereta api dapat bertahan dan banyak loko-loko uap akan tetap bertahan. Namun sayang sekali, masa itu telah berlalu, banyak sarana-sarana klasik telah musnah dan hanya tinggal bersisa kenangan bagi orang-orang yang sempat menggunakan moda transportasi peninggalan pemerintah Netherland-Indische ini.

Setibanya di museum (stasiun) Ambarawa, saya melanjutkan keliling area museum sebelah barat gedung, dimana terdapat banyak koleksi prasarana KA dan beberapa perlengkapan operasional non sarana, meski ada beberapa gerbong barang yang dipamerkan di halamannya. Di halaman barat gedung terdapat koleksi bangunan stasiun kecil (halte) berbahan full kayu yang dipindahkan dari beberapa lintas jalur KA aktif maupun pasif, seperti halte Kalisamin, Kepuh, Tekaran dan Kronelan yang berasal dari jalur aktif cabang Purwosari-Wonogiri, halte Cicayur dan Cikoya dari daop 2. Halte-halte tersebut merupakan bangunan asli dari sejak jalur KA yang melaluinya dibangun, asli dari kayu. Beruntung bangunan halte masih utuh, mungkin sebagiannya sudah dibuatkan papan kayu baru untuk menggantikan bagian yang rapuh atau hilang. Selain bangunan halte, ada koleksi persinyalan yang belum terlalu banyak unitnya. Ada juga ruang koleksi pernak pernak ruang operasional yang disimpan di sebuah gudang dekat mushola. Sembari menunggu trip kereta wisata yang kedua keberangkatan jam 14.00, saya beristirahat sambil nge-charge hape di mushola museum.

Menjelang jam keberangkatan kedua, saya menuju ke ruang koleksi pernik berbahan kain di ruang pamer multimedia di sebuah gudang selatan emplasemen utama stasiun. Disana dipamerkan beragam pakaian seragam pegawai jaman dahulu dan beberapa copotan kursi jok K1 jaman dulu yang masih berbahan bludru yang lembut dan empuk, sesuatu yang tidak akan dijumpai lagi di kereta eksekutif jaman now yang terstandardisasi dengan bahan kulit imitasi. Selain itu ada miniatur kereta juga namun tidak dapat dijalankan. Ada sebuah tv LCD yang menampilkan video kereta jaman dulu, era tahun 80an dan pengunjung dapat menikmati video yang ditayangkan sambil duduk di jok bludru eks K1 itu. Impresinya benar-benar merindukan sanubari. Terakhir saya naik kereta eksekutif dengan kursi bludru itu ada KA Gajayana rangkaian 2009 original INKA (bukan modifan kaca pesawat).


BB200 ini sudah tidak dapat beroperasi, namun masih
lengkap bersama mesinnya

Loko ini dibeli dari Jepang, namun loko ini sangat berat,
sangat lemah dan sangat boros bbm. Hanya digunakan ketika
pembangunan double track Jakarta-Cirebon

Dresin inspeksi
Peron gudang stasiun Tuntang

Dahulu lori ini digunakan untuk wisata Ambarawa

Emplasemen stasiun Tuntang

Seorang anak antusias menikmati perjalanan KA wisata Ambarawa

Singkat cerita trip kedua kereta wisata Ambarawa dimulai, 3 unit CR yang ditarik oleh loko diesel hidrolik tipe D301 bergerak meninggalkan jalur 1 stasiun Ambarawa menuju stasiun Tuntang. Sekali lagi saya terkenang dengan lingkungan yang dilalui selama perjalanan kereta, dimana selama ini saya hanya bisa menyaksikan dari google picture maupun visual google street view. Pemandangan pemukiman sekitar dan indahnya pegunungan serta rawa Pening yang bisa saya saksikan langsung, membuat saya bergumam, ingin saya tinggal disini beberapa waktu saja. Tapi saya tidak bisa egois pada dunia, saya punya 'kenyataan' yang tidak bisa saya tinggalkan sejenak saja. Sesampainya di stasiun Tuntang kembali saya menuju ke dipo yang menyimpan lok BB200 dan lok DD42 yang bersejarah itu. Sejenak saja hingga langsiran kereta wisata selesai dirangkaikan lagi. Setibanya kembali di stasiun Ambarawa hari sudah mulai sore, saya memutuskan untuk mengakhir kunjungan saya di museum kereta api Ambarawa karena saya khawatir sulit mendapatkan angkot kalau sudah sore. Di depan gerbang masuk museum, saya naik angkot sejenis elf menuju Bawen hingga depan terminal, kemudian saya oper bus trans jateng di shelter dalam terminal menuju kota Semarang. (ew/ri)


Gerbong KR yang pernah dipakai untuk angkutan BBM dinas
muatan minyak HSD, gerbong ini diambil dari salah satu
rangkaian gerbong KR yang pernah terparkir di gudang stasiun
Lempuyangan

Gerbong PBR ini diambil dari salah satu loos dipo Sidotopo

Lokomotif ini bukan loko khas untuk pegunungan, namun
dengan spesifikasi tekanan gandar yang cukup loko ini
didinaskan di lintas Rangkas, Ambarwa, Banjar hingga
stasiun Tasikmalaya

Menurut sejarah, loko milik SS ini sering berdinas menarik
rangkaian angkutan penumpang maupun campur barang

Loko berdesain slim ini menjadi endemik lintas Solo, Gundih,
Kudus, dan Purwodadi. Namun loko NIS urutan 11 ini yang
terakhir mendinasi tetap lintas Gundih-Purwodadi

Gerbong tender air-kayu loko B5210

Kereta tipe CR tahun 1956

Kereta tipe CR tahun 72

Loko milik SCS ini dahulu dipekerjakan untuk mengangkut
penumpang maupun barang, salah satunya angkutan gula
dari pabrik gula yang ada di sekitar lintas Majalengka hingga
Semarang Poncol

D30024 ini sebenarnya menjadi pelayan rangkaian wisata
Ambarawa menemani D30124 secara bergantian, namun saat
kunjungan kesana, loko ini sedang rusak

Lintas Tuntang-Ambarawa-Jambu-Bedono sebenarnya adalah
jalur non aktif, atau semi aktif karena untuk kereta wisata,
namun bukan berarti tidak memerlukan operasi regu JPJ
terutama petak Ambarawa-Tuntang

Bogi ini merupakan eks kereta penumpang pertama di
Indonesia, tentu saja perusahaannya adalah NIS dan memiliki
spesifikasi gauge/lebar rel 1435mm

Sekarang ini bogi spek 1435 yang tersisa hanya 2 unit dan
badan keretanya sudah tidak ada lagi. Bogi terakhir yang
nampak disana adalah bogi K7 modern berlebar rel 1067mm


Koleksi alat statis ini adalah alat penumbuk
yang diambil dari Balai Yasa Pengok 

Alat statis ini juga diambil dari Balai Yasa
Pengok yang berfungsi seperti alat bor

Jejeran koleksi alat mekanik

Alat ini fungsinya juga untuk memotong
atau membentuk suku cadang kerea

Kalau tidak salah, alat ini digunakan
untuk menempa (pres) suku cadang di
Balai Yasa Pengok

Loko C1603

Plakat identifikasi kereta CR tahun 72

Genta pengingat PJL, di luar sana masih
banyak yang dipakai 

Buku peraturan operasional KA era Perumka

Topi PPKA yang dipakai era DJKA atau hingga
tahun akhir 70an

Mesin kasir (atau mesin cetak tiket?)

Peron stasiun/museum Ambarawa

Mesin stempel embos karcis Edmonson

Kalkulator mekanik merek Classic

Kalkulator mekanik merek Facet

Tang stempel Plumbir

Dongkrak kecil

Dongkrak kuno

Peron stasiun Ambarawa

Handle sinyal mekanik merek Siemens tanpa blok

Gerbong pustaka hasil modifikasi lanjutan dari sarana MCW
Sebelumnya gerbong ini berupa gerbong bagasi

Lokomotif CC200, lokomotif diesel elektrik sekaligus
lokomotif diesel pertama di Indonesia, didatangkan 1953,
sebenarnya CC20015 masih bisa menyala mesinnya, hanya
saja suku cadang mesinnya sulit didapatkan












No comments:

Post a Comment

Ada pertanyaan, keluhan, sanggahan, kritik, atau pesan-pesan lainnya, tinggalkan komentar Anda dibawah ini. Terima kasih