Tulungagung. Mungkin hanya sebagian orang saja yang mengetahui di mana Tulungagung berada, banyak orang yang saya jumpai dan beberapa saat ngobrol dengan saya pasti ada sebuah kesempatan mereka menanyakan, "sampean asline ngendi mas?" atau "sampean saka pundi mas?" dan saya jawab "kula saking Tulungagung pak/bu". Sebagian besar orang pasti akan bertanya dimana Tulungagung berada. Saya sedikit maklum, karena orang akan mengenal sebuah kabupaten/kota berdasarkan objek rujukan yang terkenal, ambillah contoh Kabupaten/Kota Blitar dengan makam Bung Karno atau pak Soekarno sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Kabupaten Kediri dengan pabrik rokok terbesar se-Indonesia yaitu Gudang Garam dan Pondok Pesantren Lirboyonya, dan Trenggalek oleh karena Pantai Prigi yang dikenal air lautnya yang tenang karena berada di teluk. Padahal, di kota saya tinggal saat ini, Surabaya, (setahu saya loh yaa... bukan berarti semua orang juga setahu saya..) Tulungagung juga kurang dikenal, selain dalam bidang angkutan bus, karena ada bus Harapan Jaya yg sangat terkenal itu di rutenya. Banyak warung-warung pecel di Surabaya mencantumkan nama Tulungagung, entah yang bikin nasi pecelnya asli orang Tulungagung atau bukan, tapi tetep yang ternikmat adalah nasi pecel bikinan orang asli Tulungagung.. Hehehehe...
Itu kalau bicara tentang Tulungagung secara orang umum, kalau kita bicara sebagai pecinta kereta api (railfans) sepengetahuan saya kurang lebihnya sama persis seperti kalau ngomong sebagai orang umum. Kalau ngomongnya sebagai orang biasa, saya mesti jelasin begini, "Sampeyan lek numpang bis, motor, mobil lewat Mojokerto, lek sampeyan nyampek kota Jombang kuwi teruuuss ngulon sampek pertelon (pertigaan) Perak, Kertosono sampeyan menggok kiri arah ngidul. Sampeyn terus sampe mlebu Kota Kediri...eruh kan Kediri? Sampeyan lewato jalan Dhoho, wis sampeyan rasah menggak-menggok ngidul teruuuss setengah jam nyampek kota sing jeneng e Tulungagung". Kalo ngobrolnya sebagai pecinta kereta api atau sebagai penumpang kereta api saya juga jelasin begitu, "Sampeyan ngerti stasiun Kertosono kan? Lek sampeyan numpak Dhoho lok e kan mesti oper balik arah nak Kertosono, lek sampeyan teko arah Surabaya, mengko nak Kertosono budal e arah ngetan. sakbare lewat jembatan menggok kanan arah ngidul. Pokok sampeyan lek wis nyampek Kediri.... Eruh kan Kediri, stasiun e gede kan? Budal soko Kediri, ngliwati telung (3 kali) stasiun cilik ngko ketemu stasiun gede maneh, yo kuwi stasiun Tulungagung. Hahaha... Kurang lebihnya seperti itu lah kalau ngobrolin orang penasaran dengan kota Tulungagung, tapi saya bukan mau membahas Tulungagung di ranah kota/kabupatennya, saya mau bahas stasiunnya.
Saya sebenarnya lahir sebagai orang Ngalam alias Malang, tapi karena telat administrasi dan orang tua tinggal di Ngunut, Tulungagung, jadilah saya secara 'default' sebagai orang Tulungagung. Besar di Ngunut, menjadi pecinta kereta api sejak kecil di Ngunut, membuat saya terkenang betul sejarah akhir Ngunut sebagai "Tulungagung yang kedua". Rangkaian gerbong GGW Pusri biru yang memenuhi jalur 3 sampai menutup jalur 2 Ngunut, hilir mudik truk muat pupuk dari gerbong Pusri-nya, Matarmaja berloko BB301 yang sering remnya mengunci tepat 3 meter sebelum PJL pasar stasiun Ngunut, dan misteri fungsi wesel Inggris yang dulu pernah terpasang di jalur 3 itu untuk arah kemana, yang sampai saat ini saya pun masih setengah yakin arahnya ke jalur mana, karena saya belum pernah tahu buktinya. Beranjak sebagai anak SMA, saya pun menjadi dekat dengan stasiun Tulungagung. Namun saya juga cuma mendapat "sisa-sisa" kejayaannya, jalur 4 yang ringkih dan tidak bisa dilalui (kini udah musnah), wesel di depan rumah dinas KS yang menjadi petunjuk sejarah bahwa dulu pernah ada jalur 5 dan jalur 6 yang cukup pendek, menara penampung air, sebongkah jembatan timbang gerbong barang, dan tuas wesel di dekat gudang utara stasiun. Tidak hanya itu, lambat laun saya juga menyadari bahwa stasiun Tulungagung dahulu merupakan stasiun percabangan menuju ke Campurdarat hingga Trenggalek. Mulai saat itu saya begitu menyukai sejarah kereta api, meskipun saya tidak pernah berada di era bersejarah tersebut.
Di masa serba ketat sekarang ini, pecinta kereta api muda di Tulungagung pun tidak akan bisa mengenal eksotisnya stasiun Tulungagung jaman dulu. Jangankan mengenal fasilitas usang kereta api, hanya untuk berfoto dengan kereta atau lokomotif favoritnya saja nyaris tidak boleh karena sterilnya area peron stasiun. Kalau bukan kita yang pernah mengetahui masa lalu dengan menceritakannya secara lisan dan tertulis, lalu tak ada lagi yang akan peduli dan mencintai lebih dalam para pecinta kereta api yang muda-muda, kalo orang bilang masih "junior"... Gampang e ngomong sik anyaran utowo sik "nyubi". Baiklah kalau begitu saya ceritakan sejarah stasiun Tulungagung..sekuat-kuatnya pengetahuan saya saja yaa... Saya sangat termotivasi untuk menulis ini setelah membaca artikel Pemugaran Stasiun Tulungagung, sekejap rasanya merinding dan ingin sekali berbagi sejarah stasiun Tulungagung yang saya ketahui. Kalau nanti ada yang mau nambahin atau koreksi, boleh lah kasi masukan di kolom komentar.
Di masa serba ketat sekarang ini, pecinta kereta api muda di Tulungagung pun tidak akan bisa mengenal eksotisnya stasiun Tulungagung jaman dulu. Jangankan mengenal fasilitas usang kereta api, hanya untuk berfoto dengan kereta atau lokomotif favoritnya saja nyaris tidak boleh karena sterilnya area peron stasiun. Kalau bukan kita yang pernah mengetahui masa lalu dengan menceritakannya secara lisan dan tertulis, lalu tak ada lagi yang akan peduli dan mencintai lebih dalam para pecinta kereta api yang muda-muda, kalo orang bilang masih "junior"... Gampang e ngomong sik anyaran utowo sik "nyubi". Baiklah kalau begitu saya ceritakan sejarah stasiun Tulungagung..sekuat-kuatnya pengetahuan saya saja yaa... Saya sangat termotivasi untuk menulis ini setelah membaca artikel Pemugaran Stasiun Tulungagung, sekejap rasanya merinding dan ingin sekali berbagi sejarah stasiun Tulungagung yang saya ketahui. Kalau nanti ada yang mau nambahin atau koreksi, boleh lah kasi masukan di kolom komentar.
Stasiun Tulungagung dibangun sejalan dengan pembangunan jalur Blitar-Kediri sejak tahun 1877, kemungkinan besar stasiun Tulungagung dibangun antara tahun 1977-1978. Dahulu stasiun ini sejajar tingkatannya dengan stasiun Blitar maupun Kediri, sebagai stasiun Besar, bukan hanya Kelas 1 seperti sekarang ini, dan dulunya merupakan stasiun percabangan atau stasiun transit untuk rute Tulungagung-Blitar/Kediri dan Tulungagung-Trenggalek-Tugu (stasiun Tugu berada 1 petak lintas setelah Trenggalek ke barat). Menurut penuturan teman-teman dekat saya yang asli Tulungagung, dan sekarang saya meyakininya setelah membaca ulasan resmi dari situs PT KAI Heritage: Pemugaran Stasiun Tulungagung, yang menyatakan kalau dulu stasiun Tulungagung punya 'turntable' dan banyak fasilitas yang dimiliki oleh stasiun besar. Kalau saya sebutkan secara rinci bolehlah saya sebutkan berikut sebatas pemahaman saya yaa...:
- emplasemen dengan 7-8 jalur (termasuk jalur parkir bongkar muat barang)
- dipo lokomotif dengan kurang lebih 2-3 jalur loos
- 1 unit rumah sinyal (sign house)
- 1 turntable/ pemutar lokomotif
- 1 jembatan timbang dengan 2 jalur ekstra di sebelahnya secara terpisah
- 1 gudang bongkar muat barang
- 1 rumah dinas KS di area (mungkin dulu hanya kantor urusan kereta/gerbong/barang)
- 1 atau 2 jalur bongkar muat barang yang berada di luar emplasemen utama
- 1 menara air dan 2 corong isi air lokomotif uap.
Kalau begitu, baiklah akan saya jelaskan satu per satu menurut hemat saya.
1. Emplasemen dengan 7-8 jalur
KA Lokal Dhoho berangkat dari jalur 3 Tulungagung Di lintas Kertosono-Kediri-Blitar dari dulu lokalannya bernama Dhoho Ini foto koleki saya, tapi bukan karya saya, entah punya siapa.. hehe.. |
Saya sangat yakin dahulu stasiun Tulungagung memiliki lebih dari 5 hingga 6 jalur saja, dimana ulasan di situs heritage juga mengungkapkan ada 5 jalur bahkan lebih dari itu. Dari foto di atas (klik untuk memperbesar) perhatikan dengan seksama jalur di dekat pintu besar gudang, nampak ada jalur lagi selain jalur yang terlihat jelas di sebelah kanan jalur yang KA nya paling dekat di foto. Menurut saya, itulah jalur 1 stasiun Tulungagung yang sebenarnya, dan dulunya ruang sinyal/PPKA/PAP yang ada sekarang ini dipercaya dahulu belum ada, karena itu merupakan bagian jalur 1 yang menjadi jalur utama menuju lintas Tulungang-Trenggalek. Jalur 1 tersebut kemungkinan besar dibongkar antara tahun 1970-80an. Saya belum lahir tuh...
2. Dipo Lokomotif
Lokomotif B1903 disamping menara air stasiun Tulungagung Sumbernya ketika saya pertama tahu mengatakan demikian Ini juga koleksi saya tapi bukan karya saya, entah punya siapa..hehehe... |
Sejak saya kenal stasiun Tulungagung, dipo lokomotif tersebut sudah tidak ada, tapi keberadaan foto loko uap seri B19 yang merupakan lokomotif khas lintas cabang dataran rendah sekelas "trem" sedikit membuktikan kalau dulu stasiun Tulungagung memiliki dipo lokomotif, karena lintas cabang tentu membutuhkan rolling stock lokomotif lebih dari 2. Letak dipo lokomotif ini saya kurang tahu pasti dimana, kalau menurut saya, letaknya berada di selatan stasiun, karena di emplasemen sebelah selatan ada tanah lapang yang cukup untuk dipo lokomotif dengan 2 jalur.
3. Sebuah rumah sinyal (sign house)
Saya kurang tahu pasti dimana letak pos kendali sinyal dan wesel tersebut, karena tidak ada bukti yng cukup menunjukkan keberadaannya. Tapi di selatan stasiun, di dekat lahan yang diduga bekas dipo lokomotif itu ada bongkahan pondasi berbentuk segi empat ukuran 1-3 meter, entah dulunya itu pondasi rumah sinyal atau malah menara air yang lain.
4. Sebuah turn table
Bagi stasiun cabang dan stasiun besar, fungsi turntable itu sangat penting untuk memutar lokomotif dengan arah yang benar, meskipun kita tahu lokomotif disel maupun uap dapat berjalan dengan kecepatan yang sama di kedua arahnya. Tapi lokomotif uap memiliki driving direction secara default dengan model ketel uap berada di depan dan kabin berada di belakangnya. Berbeda dengan yang sekarang, kabin harus berada di depan. Oleh karena itu, stasiun Tulungagung sebagai stasiun besar dilengkapi dengan turntable. Tapi letaknya dimana juga saya kurang mengetahui, kemungkinan berada di selatan stasiun juga, di dekat lahan diduga bekas dipo lokomotif. Ada yang mengatakan juga mungkin berada di dekat jalur 1 yang sekarang, tapi apa mungkin begitu, kan ada jalur 1 lagi yang mengarah ke Trengglek?
5. Jembatan Timbang
Kalau menurut pemahaman saya, jembatan timbang itu berfungsi untuk memastikan bobot total gerbong barang dan muatannya agar tidak melebih tonase yang diperbolehkan, menyesuaikan jenis gerbong barang dan batas tonase (tekanan gandar) yang ditetapkan pada jalur yang akan dilalui. Karena dahulu jalur KA, terutama jalur cabang, memiliki jenis rel yang bertonase lebih kecil daripada yang berada di jalur utama. Jembatan timbang ini berada di utara stasiun, kalau sekarang tepat di belakang taman bermain "Gamma" yang berada di belakang pos PJL pasar sore. Sampai sekarang unit timbangannya masih ada meski dengan kondisi sudah miring dan keropos termakan karat. Dulu di belakang timbangan ada jalurnya lagi.
6. Sebuah gudang bongkar muat barang
Sudah lihat kan foto di ulasan nomor 1 di atas? Yup, pintu yang nampak itulah pintu gudangnya. Jalurnya sekarang sudah tidak ada, dan gudangnya juga sudah beralih fungsi menjadi rental Play Station. Dulunya jalur gudang ini punya akses menuju area yang ada di jalan raya pasar sore. Ini dibuktikan oleh adanya wesel yang menuju ke jalur 1 pada masa dulu dan adanya potongan jalur rel di PJL dan rel yng membelok di pasar yang ramai ketika sore itu. Sepertinya jalur gudang ini dulunya memanjang hingga mencapai sinyal masuk yang ada hingga sekarang.
7. Rumah dinas KS
Di sebelah timur peron nampak ada sebuah rumah, dulunya di depan rumah itu ada 1 unit wesel yang menghubungkan jalur 5 dengan 6. Namun bisa jadi rumah dinas itu dulu hanya kantor urusan kereta/gerbong atau pengawas prasarana, karena di sebelah barat stasiun juga ada beberapa rumah aset PT KAI yang merupakan rumah dinas.
8. Jalur bongkar muat barang di luar emplasemen
Seperti yang sudah saya ungkapkan di ulasan nomor 6, ada jalur yang mengarah ke sebelah barat emplasemen atau sebelah barat gudang. Disana saya menemukan 2 buah jalur ukuran 1067mm dan jalur lori tebu yang sejajar. Mungkin dulunya jalur ini untuk bongkar muat angkutan gula, atau ampas tebu, atau mungkin ada sinergi angkutan tebu, karena di barat kota Tulungagung ada PG. Modjopanggung.
9. Sebuah menara air dan 2 corong air
Sudah lihat kan foto yang ada di ulasan nomor 1, ya itulah menara airnya. Saya sangat yakin kalau itu adalah menara air milik stasiun Tulungagung, karena di foto tersebut nampak ada pohon dan seingat saya, dulu saya sempat menjumpai pohon tersebut masih ada. Sepertinya sekarang sudah tidak ada. Dan keberadaan 2 corong air hingga sekarang masih ada, meskipun tinggal bagian batang sedang bagian yang mengarah ke lokomotif sudah tidak ada.
10. Kanopi bangunan utama
Sebagai stasiun besar, kanopi merupakan komponen wajib bangunan stasiun dalam pelayanan naik turun penumpang, fungsi utamanya jelas untuk menghindarkan penumpang dari teriknya sinar matahari dan hujan. Terlebih lagi stasiun besar selalu berada di dekat pusat kota dan jumlah penumpangnya sangat banyak. Di Daop 7 ini, ada 3 stasiun besar yang memiliki desain kanopi yang sama, yaitu stasiun Tulungagung, Kediri, dan Kertosono. Namun kanopi stasiun Kertosono sudah mengalami penambahan luas dengan dibangunnya kanopi baru di sebelah barat dan timur kanopi lama. Kanopi stasiun Tulungagung selalu terawat dan masih dengan bentuk aslinya, yang berubah hanya atap sengnya saja yang diganti seiring dengan usia material yang semakin tua dan banyak berlubang. Tiangnya yang terbuat dari besi padat juga masih asli, namun sudah terbenam kaki tiangnya oleh aspal peron tinggi. Bandingkan desain kanopi yang ada di foto atas dengan yang tampak dalam bahasan nomor 1 diatas.
11. Perangkat wesel
Memang hampir semua perangkat operasional stasiun merupakan perangkat lama, salah satunya adalah unit kendali lidah wesel. Saat jalur 4 masih ada, wesel yang mengarah ke jalur 4 pun masih terpasang. Unit wesel yang masih ada saat itu sudah berusia hampir 100 tahun, tapi sejak beberapa tahun belakangan, seiring dengan pembongkaran jalur 4, perangkat wesel ini menjadi yang terakhir dibongkar. 1 unit yang luput dari dokumentasi saya yaitu wesel terlayan ditempat dengan roda pengunci wesel terlayan di stasiun. Perangkat kunci wesel itu hanya satu yang mengamankan wesel dari jalur 4 menuju jembatan timbang. Hingga sekitar tahun 2014 kunci weselnya masih ada lengkap dengan kawat yang juga masih terhubung ke handle sinyal di stasiun.
10. Kanopi bangunan utama
Stasiun Tulungagung terkini Jalur 4 sudah tidak ada |
Stasiun Tulungagung 2009 Terlihat jalur 4 masih ada walau sudah lama tak terpakai |
11. Perangkat wesel
Unit wesel bandul terlayan ditempat Untuk wesel arah jalur 4 sebelah utara stasiun kini perangkat ini sudah tidak ada |
Mark builder perangkat wesel bandul arah jalur 4 sebelah utara stasiun |
Memang hampir semua perangkat operasional stasiun merupakan perangkat lama, salah satunya adalah unit kendali lidah wesel. Saat jalur 4 masih ada, wesel yang mengarah ke jalur 4 pun masih terpasang. Unit wesel yang masih ada saat itu sudah berusia hampir 100 tahun, tapi sejak beberapa tahun belakangan, seiring dengan pembongkaran jalur 4, perangkat wesel ini menjadi yang terakhir dibongkar. 1 unit yang luput dari dokumentasi saya yaitu wesel terlayan ditempat dengan roda pengunci wesel terlayan di stasiun. Perangkat kunci wesel itu hanya satu yang mengamankan wesel dari jalur 4 menuju jembatan timbang. Hingga sekitar tahun 2014 kunci weselnya masih ada lengkap dengan kawat yang juga masih terhubung ke handle sinyal di stasiun.
Itulah kilas sejarah stasiun Tulungagung, stasiun yang (dulunya) guyub dan rukun terhadap semua orang meskipun bukan penumpang kereta, stasiun yang dulu rukun dengan pecinta kereta apinya, meskipun sekarang tinggal kenangan manis yang sebagian generasi penerusnya tak sempat merasakan nikmatnya menjadi railfans orde lama, order baru, dan saya yang sempat berada di orde reformasi. Untuk foto di ulasan-ulasanya menyusul yaa.. Nanti saya perbaiki deh.. ;-)
menara air (nomor 2) ada di sebelah utara stasiun.. kl dari PJL utara stasiun, ke timur, perempatan pertama ke selatan..telusuri jalan maka akan di sebelah kanan jalan, di halam rumah penduduk, menara air tersebut masih ada
ReplyDeleteiya betul disana, bukan di halaman, tapi di belakang rumah dan nampak dari stasiun.
DeleteUntuk Turntable St. Tulungagung, seingat saya posisinya persis di selatan gudang pas utara Stasiun ( sekarang ruko batik gajah mada )... dulu ada kolam bundar ditengahnya ada jembatan kecil trus rel nya masuk gudang, disitu dulu ada pohon besar juga disampingnya. bagi yang lahir tahun 80an (78 - 81) pasti ingat betul kondisi saat itu. jadi ingat waktu dulu nonton KA Dhoho ke Surabaya berangkat sore jam setengah 4 dan di susul KA Matarmaja 1 jam kemudian. Keretanya masih livery PJKA putih hijau dan bisnisnya warna putih oranye, liate ya di situ / utara stasiun pas... tempatnya masih terbuka, hanya pagar berupa rel di bentuk pagar. jadi orang lewat bisa liat Kereta berhenti dari situ. pagi jam 8 ramai -ramainya KRD berangkat ke Surabaya dan kembali sore jam 6 petang. Dhoho paling malam jam 8 kurang seperempat ke blitar. di area gudang jam 5 sore sudah ramai hiruk pikuk pedagang pasar sore menata dagangannya di jalan. Pokoknya serulah ingat saat itu... Salam kenal.
ReplyDeletesaya menyimak kisah pak Haryadi sambil membayangkan serunya situasi waktu itu meski saya belum lahir pada masa itu.. hehehe. saya membayangkan semampu ingatan saya ketika dulu saya masih bisa main di sekitaran emplasemen sebelum ada sterilisasi emplasemen.
Deletepool turntablenya selebar apa pak? apa selebar turntable sekarang ini? lalu bagaimana dengan dipo lokomotifnya pak?
Dulu turntablenya kurang lebih sekitar 6 meteran, tapi saat itu sudah tidak berfungsi wong banyak sampah dedaunan yang menutupi...kayaknya kecil kok dk seperti punya depo KTS atau BL. depo lok sudah tidak ada, kalau bangunan 3meteran diselatan stasiun itu dipake tempat pos jaga pemindah jalur/wesel. Ruang ppka dan rumah sinyal ya dari dulu seperti yang ada sekarang. dulu gudang itu bangunan suwung/kosong, kalau pagi utarane gudang dipake tempat jualan jangkrik sama tempat wong mbambung tidur kn tmpate kaya peron stasiun, panjange 30an meter ke utara ( dari ruko herona sampe toko jilbab sekarang ) sorenya ramai banget, kn ada pasar sore. ( sekarang pindah jadi pasar ngemplak )
Deletedulu di depan wisnu motor samping gudang OTB ( utara JPL jl agus salim ada rel dibarat rel aktif sekarang tempat bongkar muat pupuk pusri ) nah disitu dulu paling pas liat si dhoho dari surabaya lewat jam setengah 9 pagi. jadi lanjut cerita....he he. dulu JPL ( doplangan ) dk pake mesin tapi mekanik, jadi kalau mau nutup ya pake tenaga. di doplangan plandaan jl kapten kasihin waktu kecil sering diajak maen ma bapak buat ngobrol dipos ma temene yang jaga JPL. nah kalu ada sepur, tu kloneng ( genta ) bunyi. dari utara 2 kali selatan 1 kali. nah kalau dari utara, si pak tukang jaga pasti pegang tiang telpon di samping pos untuk perkiraan posisi sepur sampe mana, hebat dk? he he... kalau liat kerloop ( sinyal masuk ) dk mesti pas njeplake (lengan ayun naik, sepur boleh masuk) kadang mepet dengan kedatangan kereta. kalau sepur dari selatan mau berangkat, satu sisi jalan ditutup dulu biasane yang selatan.. kalau udah ada s 35 baru ditutup semua. Saat itu semua Lok pake BB 301 dan 304 kecuali KRD jam 8. dhoho hanya bawa 4 kereta, matar 12 kereta yang bawa bisnis 2 warna putih merah dan kalau berangkat suarane seperti pesawat, buanter banget dari jarak 1 km lebih kedengaran. sedang jalur2 di timur stasiun dulu dipake bongkar sepur semen dan rangkaian pusri kosongan. dan saat itu enaknya yo bebas keluar masuk emplasemen.
Waah menarik sekali nih pak, saya jd terharu. Di tempat bekas turntable (batik gajahmada) saya ingetnya dulu cuma sebuah taman kecil pak, nggak nyangka disitu dulu turntable nya. Kalo dipikir2 sih memang cocok yg ukuran kecil, karna dulu jalur cabangnya memang dg KA kapasitas ringan, karna daerah yg berrawa-rawa dulunya. Mgkn pak Hariyadi sudah tau foto loknya oleh fotografer bule taun 70an...
DeleteKalo ruang ppka yg sekarang itu apa memang sudah ada sejak dulu pak? Lalu jalur 1 arah ke Trenggalek itu dimana pak? Ada 1 foto yg memperlihatkan, antara gudang dan jalur 1 yg sekarang itu ada jalur lagi..
mengenang masa lalu di era PJKA atau Perumka memang seru, saat itu masih bebas keluar masuk emplasemen dan melihat langsung keberangkatan kereta dari dekat... turntablenya setelah lama dibiarkan akhirnya ditimbun dan dijadikan taman. Ruang PPKA seingat saya dari dulu tidak ada perubahan (waktu kecil 87 - 90an sering ke surabaya) sampai sekarang, untuk jalur ke arah Trenggalek kemungkinan tetap dari jalur 1 sekarang dan wesel percabangannya kemungkinan tepat diselatan JPL jl. A Yani Timur. disitu ada sinyal bundar disisi rel sebelah barat yang dari dulu tidak berubah. Jalur diutara Stasiun dulunya ada 2, yang satu dari utara masuk kegudang lanjut turntable sedang satunya lagi untuk bongkar muat yang posisinya di timur gudang samping jalur 1 sekarang. melihat dari desain Stasiunnya dan kondisinya dari dulu hingga sekarang, kemungkinan dulunya ada sepur badug di samping turntablenya. jadi tidak langsung lurus keselatan... sedang yang ke arah Nggalek dulunya tidak hanya dipake untuk penumpang tapi juga untuk angkutan barang, dulu di Nirwana Plasa ada pabrik lengo klentik (minyak goreng) dan diruko paling timur dulu ada 2 jalur. satu untuk sepur lurus dari utara, satunya sepur belok untuk bongkar muat...sepur lurusnya sudah ditimbun untuk jalan gang dan satunya lagi kemungkinan masih ada tapi ditutup pagar seng sekarang.
Deletemasya Allah.. ternyata kesimpulan saya selama ini keliru, saya kira dulu dalam 1 kanopi ada 2jalur, dimana jalur terdalam adalah menuju ke trenggalek.. T_T
Deletememang betul pak di utara stasiun ada 2 jalur di sisi barat jalur satu, karna di utara gudang dulu ada bekas tuas wesel yg membagi jalur gudang sebelah luar dan dalam.dan masuknya juga melalui PJL pasar sore. disana ada bekas 2 jalur yg memisah, 1 lurus ke gudang, 1 lagi keluar menuju emplasemen pasar sore. lalu apa bener ya di pasar sore dulu berdampingan dengan jalur lori tebu (decauville)? untuk apa ya pak?
kalo boleh tau, pak haryadi tinggal dimana? boleh kapan2 kita ketemuan pak..
Deleteuntuk jalur yang masuk ke area pasar sore lama, adalah untuk bongkar muat barang berupa tetes tebu dan gula. jadi dulu ada lori dari PG MP yang menuju kesitu, bekas jalurnya juga masih bisa dilihat sp sekarang. dari atas lori kemudian dioper ke gerbong besar untuk dibawa ke Surabaya. dipasar sore paling utara bisa dilihat ada bekas tangki besar (sebelah toko pakan) dibarat jalan, itulah tempat untuk menampung tetes tebu dari atas lori ketel sebelum dioper ke tangki ketel sepur besar. letaknya berdampingan lurus keselatan, samping Timur spoor besar sebelah baratnya spoor lori.
Deletejadi rutenya dulu dari PG MP kearah timur diutara jalan lewat RSI, pasar ngempak (dulu sawah yang kalau hujan pasti kayak laut karena banjir) masuk jembatan grobogan (plengkung) menyusuri Jl. Kasihin belok ke kanan Jl. Antasari timur jalan (gudang OTB) sampai dipasar sore belok kanan kebarat jalan persis dibawah tangki tetes tsb. dulu lori tidak hanya bawa tebu kedalam pabrik tapi juga untuk mengirim hasilnya ke Tulungagung lanjut ke Surabaya dan bentuk lorinya juga bermacam- macam ada lori khusus tebu, lori ketel, lori gula (seperti gerbong pusri tapi mini) serta lori angkut blotong (limbah).
Bangunan peron (kanopi) dulunya seingat saya tidak ada perubahan, jadi seperti punya Kediri, Mojokerto dan Gubeng. fisiknya hanya berubah pada lantainya saja yang sudah dikeramik, dan waktu awal awal Top 21 90an juga masih kotor bangunannya. maklum saat itu masih KA lokal Dhoho dan Matar saja yang lewat, jadi masih belum jadi prioritas perbaikan.
berarti dulu angkutannya campuran ya pak dari Tulungagung ke surabaya? dalam 1 rangkaian ada gerbong GGW (tertutup) campur dengan ketel isi tetes juga limbahnya itu ya?
Deletekalo dulu disana adalah emplasemen KA barang, lalu jalanan pasar sorenya itu gimana? ada membaur sama emplasemen?
kalau yang angkutan lori kurang begitu jelas, soale tahun 75an sp awal 80an kabarnya sudah tidak jalan yang masuk kota...angkutan muat gula sama tetes itu jaman belanda, kalau lori blotong (limbah) hanya diareal pabrik saja. kalau yang kereta besar menurut cerita mbah itu hanya bawa 2 kereta penumpang saja, berangkat pagi tiba di Surabaya sore... dan saat masih sepur uap kabarnya berangkat awal juga dari Tulungagung bukan dari Blitar, baru setelah datang BB301 / 304 mulai awal dari Blitar. itupun menurut cerita mereka, yang pernah saya lihat sendiri dan masih ingat ya mulai tahun 87an saat masih SD.
Deletekalau areal pasar sore lama dulu kalau pagi ya sepi, wong yang lewat hanya pake sepeda, becak, dokar, motor hanya beberapa, prah (truk sekarang) dan "pesse" baca PC (sejenis oplet tapi besar). sorenya jalanan penuh buat pedagang pasar,tapi bekas jalur saat itu masih jelas terlihat.
wiih lama juga ya TA-SBY berangkat pagi nyampe sore, sekarang aja kereta kalah cepet daripada bus di jam pagi (3 jam nyampe). saya kira emplasemen pasar sore dulu areanya kaya emplasemen murni kereta, kendaraan gak bisa lewat, ternyata juga udah beraspal dan bisa dilewati kendaraan lain..
ReplyDeletearea pasar sore saat itu sudah beraspal tapi tidak sebagus sekarang... untuk mengingat kembali, berikut jadwal kereta dari Tulungagung sekitar 87- awal 90an era PJKA :
ReplyDelete- Dhoho ke Surabaya lwt KTS jam 05.10an pagi bawa 4 kereta Lok BB 301/304
- Matarmaja ke Malang jam 07.00an dari Jakarta
- KRD ke Surabaya jam 08.00 tepat bawa 3 kereta
- Dhoho ke Surabaya lwt ML jam 08.45an (setelah KRD dihapus jadi 08.30)
- Dhoho ke Surabaya lwt KTS jam 10.00
- Dhoho ke Surabaya lwt ML jam 11.20an
- Dhoho ke Surabaya lwt ML jam 14.45an
- Dhoho ke Surabaya lwt KTS jam 15.50an
- Matarmaja ke Jakarta lwt Jogja jam 16.45an bawa 10-12 kereta termasuk 2 bisnis
- KRD ke Blitar jam 18.00
- Dhoho ke Blitar jam 19.50an
untuk kereta barang dulu biasa disebut SKAB yang bawa rangkaian Pusri atau Semen. dan lewatnya seingat saya sebelum atau sesudah Dhoho pagi ke SBY menuju Blitar dan kembali sore jam 18.30an malam ke arah Kediri.
uniknya, dulu yang naik dari Tulungagung ke SBY jam 4 sore dk ada yg berani naik kereta belakang, ceritanya biasanya tempat untuk menaruh korban tertabrak KA dari Rejotangan/Ngunut ke Tulungagung. hiiiii... dan dari 4 kereta kadang ada 1 yang lampunya padam ataupun kadang seluruhnya baik dari dan ke SBY. maklum belum ada KMP saat itu, jadi perjalanan malam harus siap-siap beli lilin.
Betul pak, saya masih sempat ngrasain naik kereta penerangan e cuma pake lilin, dari Ngunut sampe Lawang. Dapat e duduk ya ala kadar e dulu. Skarang saya tinggal di Tulungagung, deketan daerah kota. Matarmaja dlu ditarik Bb301, saya ndak pernah naik itu waktu masih pake BB301, tp waktu saya kecil sering minta antar ibu/embah liat kereta sore. Tahun 95an itu BB301 sudah mulai nggak efektif narik KA penumpang panjang, sering pas dines Matarmaja, mau masuk sta Ngunut itu remnya ngiket, brenti di sebelah sinyal pengulang deket e pjl pasar. Lok CC201/203 baru masuk lintas tulungagung setelah adanya KA gajayana. Malah dulu pernah gajayana ditarik BB301
DeleteDhoho dan Matarmaja waktu ditarik BB 301/304 kelihatan pas gitu, pantes dilihat... 97an sering numpang Matar dolan ke Malang gratis (mbah punya kartu KBD) dan masih pake BB 301/304 tapi suarane kaya pesawat, livery sudah biru oranye Perumka...naiknya di K2 warna biru hijau yang kursinya empuk dan bisa dioper posisi. berangkat jam 7an pagi dari TA pulang jam 14.30an dari ML sampe TA 18.30.
DeleteGajayana mulai Rilis sekitar 99an (saya kelas 2 STM) dan berjalan langsung di TA, pagi lewat jam 06.20an ke ML dan sore jam 17.10 ke GMR. stamformasi Lok CC 203, 6 K1, 2 K2, 1 M, 1 P. livery sama persis JS 950 argo bromo dan waktu berjalan langsung di TA pasti loncengnya dibunyikan. relasi saat itu ML-BL-KD-MN-YK-PWT-CN-GMR iklan ada di jawapos radar dulu.
setelah Gajayana berhenti normal di TA, pernah coba naik ke ML sama mbah di K1, suarane cuma gludug- gludug nyaris kedap suara dan dingin banget...trus ada KP priksa tiket dan dibilang ''kalau pake KBD di bisnis pak, besok jangan diulangi'' he he... lumayan. dari ML naik Penataran ke Bangil, oper Mutiara Timur ke SBY... dari SBY naik KRD (kadang Jayabaya Malam Selatan) turun Jombang setelah itu tunggu Dhoho pulang ke TA.
masih nyimpen koran e nggak pak yg ada iklan e Gajayana? sekarang KBD gak berlaku pak, yg ada karyawan juga perlu beli karcis meski cuma 25% saja
Deletesayange sudah ilang, dikiloin... saat itu belum kepikiran nyimpen. yang ada cuma kartu KBD lama punya mbah... betul, sekarang ex karyawan juga bayar penuh jika naik KA Lokal, dan dapat potongan untuk jarak jauh. dulu naik Mutiara Selatan dapat oleh2 lo, gantungan kunci dari kayu ( Restorka Mutiara Selatan ) setelah itu diganti tissu basah seperti punya Aqua... jika Paklek pulang dinas dari Surabaya (numpang Mutsel) pasti bawa, kini tinggal 1 yang lain hilang.
DeleteThis comment has been removed by the author.
Deleteiya pak, sering liat dari grup fb, ada yang share kenangan punya oleh2 dari KA-KA tertentu, seperti mutsel itu salah satunya. kenangan yang masih saya punya cuma karcis edmonson sama karcis komputer yang lama juga ada
DeleteBlog keren.
ReplyDeleteKunjungi web kami.
http://goo.gl/L5Wtrf
Mantappp....
ReplyDeleteSemoga ada bantu jawab mau nanya, bangunan Stasiun tulungagung itu skrg masuk ke dalam Bangunan cagar budaya apa tidak ya ?
ReplyDeleteSepertinya belum didaftarkan statusnya, karna tidak ada plakat dan register di situs resminya
DeleteSepertinya belum didaftarkan statusnya, karna tidak ada plakat dan register di situs resminya (Edy W)
Deletewah terimakasih om info nya saya lagi cari info tentang stasiun tulungagung guna tugas akhir kuliah, blog ini membantu bgt
ReplyDeleteGreat and I have a dandy offer you: What House Renovations Can You Claim On Tax best house renovations
ReplyDelete