Sudah lama blog ini tak terisi artikel baru, maklum kegiatan lagi sepi. Berhubung kali ini ada kegiatan ke salah satu jalur mati ruas pendek di Jawa Timur, saya akan bagikan sedikit cerita dalam blog ini.
Hari itu, Sabtu, 31 Januari 2015, saya dan tiga orang teman dari IRPS mengunjungi Jembatan Lahor yang berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. Lokasi Jembatan Lahor sudah jamak menjadi salah satu spot hunting favorit para railfans, pemandangannya yang indah dengan lembah sungai Brantas yang dalam dan latar belakang Bendungan Sutami dengan 3 batang cerobong PLTA khas PLTA Sutami menjadi view favorit para pemburu fotografi kereta api yang disukai oleh railfans.
Tapi sayangnya, saat itu saya dan temen-temen tiba disana terlalu siang, sehingga beberapa jadwal KA yang tersisa pada jam siang sudah berlalu dan ada lagi beberapa jam kemudian. Lokasi huntingnya juga saat itu kurang menyenangkan, karena ada satu titik tanahnya bekas longsor dan basah. Maklum saja, musim hujan sudah mencapai masa puncaknya dimana hujannya sangat sering turun ke bumi. Saya mengajak temen-temen untuk pindah tempat ke pos PJL yang ada di seberang jembatan sebelum terowongan. Saya ajak temen-temen ke terowongan EBK, satu-satunya terowongan KA yang dibangun oleh pemerintah Indonesia, bagian satu dari dua terowongan yang banyak orang memanggilnya “Terowongan Karangkates”.
Eks jembatan Karangkates lengkap |
Sekilas sejarah pembangunan Terowongan Karangkates, sebatas pengetahuan yang saya miliki, dibangun pada tahun 1969 oleh pemerintah era kepemimpinan Presiden Soeharto dengan Ir. Sutami sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Kala itu pembangunan waduk PLTA Sutami yang menjadi proyek utamanya memerlukan lahan yang ikut mengenai jalur KA yang sudah ada sejak zaman Belanda. Agar jalur KA tetap dapat digunakan, perlu relokasi jalur KA ke tempat lain. Saya tidak begitu tahu, mungkin bagi pemerintah kondisi geografi yang berbukit terjal, sedangkan waduk yang dibangun ada 2 bangunan waduk (Waduk Sutami di sisi selatan dan Waduk Lahor di sisi utara). Mungkin bagi pemerintah cara yang paling tepat adalah membuat terowongan untuk lalulintas KA, sehingga pada tahun 1969 mulailah pembangunan dua terowongan KA untuk menggantikan jalur KA di lokasi terdampak pembangunan waduk PLTA Sutami. Terowongan yang dibangun adalah terowongan Eka Bakti Karya yang memiliki panjang resmi 741 meter dan bentuk jalur KA melengkung ganda ‘S’, dan terowongan Dwi Bakti Karya yang memiliki panjang resmi 440 meter dan bentuk jalur KA melengkung. Jarak antara kedua terowongan kurang lebih sejauh 520 meter.
Saya sengaja mengajak ketiga teman sesama anggota IRPS itu mengunjungi terowongan EBK, yaitu karena di belakang pos jaga TW-1 terdapat bekas pondasi jembatan KA yang masih utuh (tanpa rangka jembatan jalan rel). Jembatan yang menghubungkan jalur rel karena tanah yang miring dan ada parit kecil ini berada tak jauh dari mulut terowongan EBK. Kondisi jalan rel di terowongan EBK yang berbantalan besi dan penambat pandrol ini cukup mengkhawatirkan, banyak rel yang bergelombang dan menimbulkan genjrotan ketika dilewati KA meski kecepatan KA cukup rendah. Sejenak kami masuk ke dalam terowongan hingga sleko pertama. Baru kali itu saya masuk terowongan KA dengan berjalan kaki dengan penerangan yang sangat minim, bahkan lampu senter dari hape saya saja tidak mampu berbuat banyak karena luasnya area gelap yang perlu disinari. Memandang jauh lebih ke dalam yang sangat gelap saja sudah sangat merinding dan bikin ciut nyali, bagaimana dengan Juru Penilik Jalan Terowongan (JPTW) yang setiap hari memeriksa kondisi di dalam terowongan? Bener-bener bernyali besar. Saya juga pernah baca sebuah kisah seorang warga pencari rumput masuk ke dalam terowongan EBK dengan menuntun sepeda angin dan tanpa penerangan sedikitpun, bisa selamat hingga keluar terowongan.
Di dalam terowongan ada serangkaian kabel dan antena radio untuk membantu memancarkan gelombang radio dari Pusat Kendali (PK) ke radio lok dalam terowongan. Karena gelombang radio tidak dapat menembus tanah bukit hingga ke dalam terowongan, sehingga perlu dibantu pemancarannya. Salah satu sleko kami kunjungi dan kami ukur, ternyata tiap sleko hanya mampu memuat 2 orang dalam keadaan berdiri. Sedangkan bantalan rel dalam terowongan masih menggunakan bantalan besi dengan jenis penambat pandrol.
Cukup lama kami menanti KA yang lewat, semestinya ada KA 182 Penataran Ekspress, tapi karena perjalanannya sudah dibatalkan, jadi KA selanjutnya yang akan lewat adalah KA 441 Penataran dan KA 131 Majapahit, itu pun masing-masing berjarak 1 jam. Kami santai sejenak sambil menikmati bekal yang sudah dibawa. Belum juga santai mendung sudah menggelayut pekat di langit dan grimis sudah turun membuyarkan ‘piknik’ kami. Tak lama akhirnya KA 441 mendekat. Deru roda dan rel terdengar menggemuruh dan angin dingin menghembus kencang dari dalam terowongan karena dorongan dari laju kereta. Baru kali ini saya tahu kalau ada angin kencang yang keluar ketika ada KA yang melaju di dalam terowongan. Hampir satu jam setelah KA 441 melintas, tiba waktunya KA 131 melintas.
KA 441 Penataran keluar Tw. EBK |
KA 131 Majapahit keluar Tw. EBK |
Untuk menambah pengetahuan, dapat dibaca pada beberapa link terkait berikut:
No comments:
Post a Comment
Ada pertanyaan, keluhan, sanggahan, kritik, atau pesan-pesan lainnya, tinggalkan komentar Anda dibawah ini. Terima kasih