Tuesday 22 December 2020

Journey To Jember: Sebuah Perjalanan #1

Kala itu di bulan Oktober 2020.. sebenarnya hari itu bukan agenda utamaku untuk melakukan perjalanan telisik sejarah. Masih dalam rencana perjalanan sih, namun tujuan utama hari itu tergantikan karena sebuah alasan yang hanya alam yang tahu. Hehe.. Karena perjalanan hari itu terencanakan, maka sudah pasti ada sebuah pilihan lain kala pilihan utama tak tertunaikan. Tahun 2020 ini benar-benar tahun bencana dunia, sebuah pandemi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya memporak-porandakan kehidupan dunia. Namun bukan berarti semua orang tak berhak mencari kebahagiaannya, kehilangan keceriaannya, meski sebagian orang juga kehilangan mata pencahariannya karena terdampak pandemi, orang masih bisa memikirkan alternatif lain untuk mencari penghidupannya yang baik, mendapatkan kebahagiaan dengan caranya namun masih tetap menjaga diri dari resiko serangan pandemi. Termasuk diriku. Aku masih bisa mencari kebahagiaan dengan caraku, dengan apa yang bisa aku lakukan, namun masih tetap menjaga diri secara ketat.

Sebenarnya hari itu aku ingin melakukan perjalanan ke Kota Pahlawan, cuti kerja dua hari yang sudah didapat jadi bumbu semangat aku tuk memutuskan sebuah perjalanan kesana. Itu rencana "A"-nya, masih tetap dengan keinginan pergi melakukan perjalanan jauh alias touring bermotor maka aku juga buat beberapa opsi tujuan perjalanan. Beberapa alternatif lain yaitu ke Jember, ke Semarang, ke Yogya. Ngapain jauh-jauh kesana? Ya suka-suka lah.. yang pasti aku masih tak jauh dari hobi ku selama ini, yaitu kereta api. Dipikir...dipertimbangkan..akhirnya rencana "B" aku pilih ke Jember. Selain aku belum pernah kesana dengan perjalanan non kereta api, disana juga ada seorang teman yang belum lama pindahan kesana dan aku ingin silaturahim juga kesana, mas Dedy. Berkabar dengan mas Dedy disana, aku pun menyiapkan roadmap kemana aja aku akan pergi selama perjalanan ke Jember. Kalau aku pikir perjalananku melalui rute Kepanjen-Lumajang-Jember, sejauh itu aku bisa sambangi beberapa titik situs bersejarah kereta api, nah sudah tahu kan... Yup, jalur mati Pasirian-Lumajang-Rambipuji. Busett disana banyak banget titik situs jalur KA mati! Iya memang, apalagi jalur Lumajang-Rambipuji itu lumayan jauh loh untuk sebuah rute jalur kereta api non aktif di Jawa Timur.

Jumat pagi itu aku berangkat sedikit siang, perkiraanku tiba di Lumajang dalam 3 jam, itu setelah aku ukur di Google Maps sih.. perkiraannya segitu. Eh ternyata meleset agak lama. Bersama si supri GTR yang baru kali ini aku ajak touring jauh, aku berangkat dengan bekal seadaanya dan sedikit rasa was-was karena olinya sudah setengah periode. wkwkwkw.. Mampir di Kepanjen tuk beli sedikit jajanan untuk oleh-oleh kesana, setelah itu aku menyalakan trip guiding GoogleMaps biar nggak nyasar, aku buat beberapa titik perhentian dengan transit pertama aku tentukan di situs pertama: eks stasiun Pasirian, dan beberapa titik perhentian rute pertama ini hingga ke eks stasiun Lumajang. Transit-point telling-nya di part selanjutnya yaa.. hehe. Menjelang jam 12.30 aku tiba di pusat kota Lumajang, karena musafir, agak sedikit riweh kalau aku mampir di masjid dalam perjalanan untuk Jumatan, selain itu aku lupa kalau semakin aku ke timur, waktu ibadah juga semakin lebih awal. Yaah, akhirnya aku cari masjid lain untuk mengganti sholat Dhuhur sekalian istirahat sejenak.

Melanjutkan perjalanan di rute kedua, aku buat lagi beberapa transit-point di GoogleMaps, titik mampirku ini sudah aku susun sehari sebelumnya karena beberapa titik yang diperkirakan eks perhentian kereta api sulit atau sudah tidak ada lagi jejaknya. Aku kira perjalanan ini tidak seberapa lama, satu dua jam saja sudah selesai, tapi ternyata tidak. Tepat jam 1 siang aku berangkat dari masjid tempat aku istirahat tadi, menyusuri perjalanan menuju Jember dan beberapa titik perhentian yang ingin aku kunjungi, ternyata memakan waktu hingga 4 jam perjalanan dari yang semestinya diperkirakan hanya 3 jam tiba di pusat kota Jember. Banyak sekali situs eks stasiun, eks halte, dan ada juga eks persilangan lori, tapi cuma nemu 1 titik saja sih. Tidak hanya itu, perjalanan yang aku perkirakan cukup menyenangkan pun ternyata membuahkan rasa lelah yang luar biasa, hingga tiba di rumah mas Dedy pun rasanya seperti meriang, pusing... tapi bukan sakit sih, hanya capek luar biasa karena terlalu banyak berhenti. Beda kalau sekali jalan langsung ke tujuan akhir tanpa banyak berhenti, kemungkinan tidak terlalu capek. Sebenernya sih perjalanan jauh tidak begitu asing buat aku karena dulu semasa kuliah aku terbiasa bermotor Tulungagung-Surabaya, bahkan pernah sehari pp, jadi normalnya sih fisik biasa aja, yang bikin gak biasa cuma kalo banyak berhenti dan kondisi hujan, itu bener-bener bikin badan sangat capek. Menjelang magrib, aku tiba di rumah teman disana setelah sedikit nyasar karena lokasi Google Maps perumahan tempat temanku itu tinggal sedikit meleset dari yang semestinya. Maklum sih, karena perumahannya masih agak baru, jadi si pembuat lokasinya mungkin agak meleset. 

Di Jember aku stay selama 2 malam, sebenarnya aku ingin menginap di hotel murah saja karena aku tak ingin merepotkan mas Dedy, tapi karena dia sedikit memaksa buat stay di rumahnya, jadi ya cancel cari penginapannya. Esok harinya aku buat tracking jalur mati Kalisat-Panarukan, rencana sih sama mas Dedy tapi nggak jadi karena ada kegiatan yang nggak bisa ditinggalkan. Akhirnya aku berangkat sendirian. Mengawali perjalanan dengan sedikit was-was juga, aku lihat langit agak mendung, aku berharap tidak turun hujan sebelum aku mencapai Bondowoso. Memulai perjalanan dari stasiun Kalisat, aku menyusuri pedesaan dengan berbekal panduan GoogleMaps lagi.. hehe.. menuju titik perkiraan situs jalur mati Kalisat-Panarukan. Untuk cerita kemana saja aku mampir, nanti ya di postingan yang lain.. hehe.. Rute aku buat hingga stasiun Bondowoso, alias museum kereta api Bondowoso. Sayangnya perjalananku tidak bisa lanjut ke Panarukan karena tepat memasuki kota Bondowoso, rintikan hujan mulai menyerbu dan aku berteduh di depan pintu masuk museum Stasiun Bondowoso. Aku kira museumnya buka, ternyata tidak, tapi di museum ini juga melayani penjualan karcis kereta api reguler, memang bukan untuk jalur Kalisat-Panarukan karena jalurnya masih berstatus non aktif. Lihat hujan turun deras sekali dan awannya masih gelap hingga ke arah utara, pikiran jadi galau, mau terus ke Panarukan apa nggak yaa.. Kalo terus resikonya hujan-hujan, kalo nggak terusin juga nanggung udah sejauh ini. Pikirku sih yasudah aku batal meneruskan perjalanan ke Panarukan, karena perjalanan kesana menurut GoogleMaps masih sejauh satu hingga dua jam lagi. Lain waktu aja aku kesana lagi dengan teman-teman, atau sendiri lagi kesana. Nanggung karena sudah sejauh ini ke Bondowoso, aku menghubungi satu temanku yang tinggal disana, silaturahim bentar lah kerumahnya.

Hari Minggu waktunya aku pulang ke Tulungagung, tak lupa aku terimakasih teramat besar karena diperkenankan stay dua malam dirumahnya. Tepat jam 9 pagi, aku berangkat dari sana dan tak lupa mampir di toko oleh-oleh khas Jember yang ada di kota. Perjalanan pulang ini aku tak banyak mampir, kembali menggunakan panduan Google Maps, aku menyusuri jalan Jember-Lumajang via Balong, tapi ruteku tidak sampai ke Kota Lumajang, melewati rute pedesaan yang masuk dari pertigaan Yosowilangun (atau Desa Jombang ya..) keluar di pasar Tempeh, perjalanannya jadi sedikit dipersingkat. Celakanya, sedikit menyepelekan aku lupa kalau dari Pasirian hingga Kepanjen, di daerah pegunungan itu nggak ada pom bensin, di Pasirian aku nggak mampir beli bensin di pom, akhirnya beli bensin eceran deh. Belinya 1 botol saja, cukup kok sampai pom bensin di dekat Turen. Buset itu jauh loh.. sampe 50km lebih dikit dari Pasirian, tapi syukurlah, si GTR ini irit banget meskipun mesinnya 150cc!

Sampai di pom bensin di kota Turen, aku beli lagi fulltank biar nggak ngisi lagi sampai rumah. Lah emang cukup?? Iya, cukup banget meski nyampe rumah dalam kondisi kedip-kedip..hehe. Padahal sepanjang perjalanan aku nggak sekalipun pake teknik santai, mesti ngebut. Apalagi di perjalanan dari Pasirian ke Turen itu jalannya naik turun bukit, gas ngebut terus. Tapi perjalananku terhenti agak lama di Wlingi karena hujannya deress banget, sampe berhenti lagi di Talun karena hujan lagi agak deres. Bawa mantel sih, tapi mantelnya gak cukup karena tasku menggembung penuh, depan badan juga aku bawa tas isi kamera, jadi ya aku pilih meneduh aja. Untunglah, menjelang jam 4 sore, aku sampai di rumah. Eh ternyata bapak-ibuku gak ada di rumah, mendadak pergi ke Malang karna ada urusan mendadak, yang ada hanya adikku. Tau begitu aku belok aja ke Malang. Dan touringku pun berakhir.

Banyak sekali yang ingin aku ceritakan, mengenai tempat-tempat yang aku kunjungi, yang pasti tentang stasiun-stasiun dan tempat-tempat lain di jalur KA mati yang aku telusuri. Lintas Pasirian-Lumajang lengkap, kemudian lintas Lumajang-Balung hingga Rambipuji... hanya sampai eks stasiun Rawatamtu sih, yang lintas ini kecuali eks stasiun Kencong dan eks stasiun Gumukmas.  Kemudian lintas Kalisat-Bondowoso. Aku terkesan banget, karena di jalur mati itu masih banyak bekas-bekas prasarana kereta api yang masih berdiri, masih tertinggal disana, bahkan stasiun-stasiunnya banyak yang masih dipergunakan sebagai rumah tinggal, jadi tidak rubuh begitu saja. Hanya saja untuk prasarana rel banyak yang sudah tidak utuh lagi, termasuk eks jembatan dan persinyalan juga. Cerita lengkapnya tunggu part berikutnya yaa.. To be continue..  
















1 comment:

  1. Stay dirumah bukan dihotel bukanlah sedikit memaksa. Tapi sangat memaksa pokoknya harus stay dirumah bukan di hotel. Hahahaha

    ReplyDelete

Ada pertanyaan, keluhan, sanggahan, kritik, atau pesan-pesan lainnya, tinggalkan komentar Anda dibawah ini. Terima kasih