Lumpur panas yang menggunung di Kecamatan Porong sejak 29 Mei 2006 yang lalu menimbulkan kerugian materiil dan imateriil yang teramat besar, ratusan KK kehilangan harta benda dan berhektar-hektar tanah hingga rumah tidak dapat ditinggali maupun dimanfaatkan lagi sejak tragedi yang muncul akibat pengeboran gas yang terlalu dalam oleh Lapindo Brantas. Tidak berhenti sampai disitu, tragedi lumpur panas juga meninggalkan kerugian anggaran yang ditanggung oleh negara akibat Lapindo Brantas tidak sanggup lagi meneruskan pengganti-rugian kepada masyarakat korban lumpur, hilangnya beberapa kilometer ruas jalan tol karena terendam lumpur, dan menyisakan kerugian-kerugian ekonomis yang lainnya, seperti rusaknya badan jalan rel yang melengkung karena panas berlebih di area lumpur, peninggian jalan rel yang berulang kali untuk mengatasi banjir yang sering menggenang tinggi saat musim hujan, dan rusaknya jalan raya yang sudah tidak dapat ditolerir lagi karena setiap kali diaspal baru dan mulus namun hanya bertahan beberapa minggu saja dan kembali rusak karena penurunan tanah.
Musim hujan yang tinggi di awal tahun 2016 ini mungkin bisa jadi merupakan puncak dari semua dampak bencana lumpur Lapindo, banjir yang menggenang di seputar
exit tol lama pada hari Jumat, 12 Februari 2016 dengan ketinggian air mencapai lebih dari 60 cm melumpuhkan jalan utama jalur rel satu-satunya di lintas Surabaya-Bangil dan jalan raya Tanggulangin-Porong, memaksa KA Komuter membatalkan perjalanannya ke stasiun Porong dan hanya sampai di stasiun Tanggulangin, KA angkutan BBM menuju Malang yang berhenti total dan KA Semen terjauh se-Indonesia rute Nambo-Banyuwangi harus "meliburkan" angkutan. Sebagian KA yang lain juga terpaksa tidak diteruskan perjalanannya seperti KA Bima dan KA Jayabaya menuju dan dari Malang, hanya sampai Surabaya, serta KA Penataran yang terpaksa berakhir dan berangkat awal di stasiun Bangil. Sedangkan KA Mutiara Timur hanya beberapa hari saja terpaksa memutar melalui Kertosono-Blitar-Malang-Bangil. KA Logawa dan Sritanjung juga harus melalui rute "Jalur Kantung" Bangil-Malang-Kertosono akibat banjir yang terjadi hingga seminggu itu dan terpaksa mengalami keterlambatan tiba di stasiun akhir tujuan karena batas kecepatan yang 2 kali lebih rendah dari rute yang biasanya.
|
BB30109 "menyeberangkan" KA Penataran Ekspres
Sumber: Tempo.co |
Masalah-masalah transportasi itu memang sebagian telah teratasi dengan dibangunnya jalan raya arteri menjauhi lokasi bencana, jalan tol yang baru juga telah terbangun bahkan hingga ke Pandaan, namun belum bagi jalan rel. Nasib kereta api di Indonesia, menurut saya, masih menjadi "anak tiri" di bidang transportasi. Pengembangannya juga hanya "secuil hati" dibandingkan dengan prasarana jalan tol, sedangkan sebagian juga kita tahu, dibangunnya jalan tol malah memunculkan polemik yang lain seperti pertumbuhan kendaraan yang juga semakin banyak, kemacetan jalan juga tidak banyak teratasi. Padahal dulu zaman kolonial, Belanda membangun jaringan rel KA beribu-ribu kilometer tidak hanya untuk angkutan komoditas saja, juga angkutan penumpang, dimana bila dilihat salah satu aspek angkutan penumpang secara umum, yaitu angkutan jalan raya menggunakan bus, mobil pribadi, semakin tahun berganti pun angkutan pertumbuhannya semakin banyak. Di sisi lain, sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, jaringan jalan rel malah semakin menyusut jumlahnya. Menyikapi terjadinya bencana lumpur Lapindo, pemerintah telah mengaktifkan kembali jalur rel KA Tarik-Sidoarjo yang mati atau non aktif sejak era 70-an, namun hanya "langkah awal" yang sedikit terlambat saja, masalah gangguan jalur KA di Porong itu teratasi. Setelah KA Jenggala diluncurkan dan memasyarakat, pemerintah seolah sedikit mengabaikan jalur rel yang terancam keberlangsungannya di Porong. Kabar yang saya peroleh sebelumnya, pemerintah telah merencanakan pembangunan jalur KA baru dengan rute Tulangan-Gununggangsir (stasiun mati di utara setelah stasiun Bangil yang akan diaktifkan lagi). Kabarnya, proses pembebasan tanahnya juga tinggal kurang lebih tinggal 30an persen, itupun kabar sudah ada sejak 1-3 tahun yang lalu. Sekilas peninjauan saya di lokasi yang mungkin bakal menjadi jalur KA pun tidak terdapat patok batas lahan untuk jalur KA yang baru, entah saya yang kurang jauh menelusurinya.
Kejadian banjir yang terjadi selama seminggu sejak Jumat, 12 Februari 2016 yang lalu sepertinya membuka mata lebar-lebar pemerintah untuk segera merelokasi jalan raya Porong dan jalur rel KA Porong. Saya membaca berita dari
Surabaya.Tribunnews.Com, Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional V Jawa Timur merekomendasikan agar jalan raya Porong ditutup untuk jalan umum dan merelokasikan jalan rel KA. Memang benar ada penggantinya yaitu jalan raya arteri, tapi jalan relnya masih belum ada fisiknya. Sedangkan dalam artikel yang sama, Gubernur Jawa Timur yang akrab dipanggil Pakde Karwo, mengatakan bahwa penggantinya jalan rel sudah ada. Padahal masih sebatas hingga stasiun Tulangan, bagaimana dengan rutenya ke Bangil?
Sebagai warga Jawa Timur, saya turut berharap semoga masalah transportasi yang terganggu karena bencana lumpur Lapindo itu segera teratasi dan memperlancar lagi roda ekonomi masyarakat luas. Dan sebagai seorang pecinta kereta api, saya pun turut berharap semoga jalur KA lintas Surabaya-Bangil dan terus menuju Jember-Banyuwangi dan Malang dapat segera direlokasi, agar laju kereta api semakin lancar, dan tidak harus memutar jauh melalui Jalur Kantung terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment
Ada pertanyaan, keluhan, sanggahan, kritik, atau pesan-pesan lainnya, tinggalkan komentar Anda dibawah ini. Terima kasih